Suluhjateng, Wnosobo – Siapa yang ditak kenal Gunung Dieng yang memiliki sejuta pesona lengkap dengan berbagai keindahannya. Terlebih Gunung ini menjadi salah satu jujukan wisatawan apabila berkunjung ke Jawa Tengah (Jateng).
Bagi Anda yang datang ke Jateng tetapi tidak mampir ke Gunung Dieng, maka sangat disayangkan. Padahal, Dieng adalah Gunung yang tidak pernah sepi dari pengunjung.
Gunung Dieng merupakan kaldera yang dikelilingi oleh gunung-gunung di sekitarnya. Gunung tersebut antara lain Gunung Prahu yang terletak di sebelah timur laut kaldera, Bukit Sikunir, Gunung Pakuwaja, Gunung Bismo di sebelah selatan kaldera, serta kompleks Gunung Butak-Dringo-Petarangan (di sebelah barat laut).
Di bawah permukaan kaldera terdapat aktivitas vulkanik, seperti halnya Yellowstone ataupun Dataran Tinggi Tengger.
Di sini terdapat banyak kawah (crater) dan rekahan (vent) yang mengeluarkan hasil aktivitas geologi dalam berbagai wujud: fumarola, solfatara,sumber gas (CO2 maupun CO), dan mata air (panas maupun dingin), serta danau vulkanik. Beberapa kawah masih sangat aktif, seperti Sileri, Candradimuka, dan Sikidang, dijadikan objek wisata alam.
Kawasan Dataran Tinggi Dieng telah lama dikenal sebagai pusat temuan arkeologi; dengan ditemukannya sejumlah candi dan sisa-sisa bangunan kuno non-pemujaan (petirtaan dan lubang drainase) serta arca.
Catatan Hindia-Belanda menyebutkan ada 117 candi/bangunan purbakala di Dataran Tinggi Dieng, tetapi sekarang tinggal sembilan yang masih berdiri.
Candi-candi di Dieng diberi nama sesuai dengan nama tokoh pewayangan Mahabharata dan berdasarkan perkiraan arkeolog, bangunan-bangunan kuno di Dieng dibangun di masa berkuasanya Kerajaan Kalingga, yaitu pada abad ke-7 dan ke-8. Ini menjadikan percandian Dieng sebagai bangunan tertua di Jawa yang masih berdiri.
Candi-candi ini bercorak keagamaan Hindu dan tampaknya dibangun untuk pemujaan kepada Siwa dan hyang (leluhur yang didewakan setelah meninggal).
Dalam konsep Hinduisme, kuil atau candi adalah miniatur gunung suci kosmis, meskipun Schoppert melihat motif desain bangunan sangat sedikit terkait dengan India.
Dalam tinjauannya yang diterbitkan tahun 2011, Romain mengemukakan pendapat bahwa gaya candi Dieng dapat dikaitkan dengan gaya Dravida dan Pallava dari India selatan.
Pada kondisi tahun 2020, hanya terdapat sembilan candi yang masih berdiri, sisanya tinggal reruntuhan, fondasi, atau tinggal nama. Batu-batu reruntuhan candi dipakai oleh warga untuk fondasi bangunan, jalan, atau pembatas pematang.
Penduduk beberapa dusun di Dieng juga diketahui memiliki kekhasan fenotipe, dengan rambut yang gimbal. Diduga sifat rambut ini diturunkan secara genetik.
Setiap tahun diadakan upacara pemotongan rambut gimbal untuk warga dengan ciri fisik demikian. Upacara ini sekarang menjadi salah satu objek wisata budaya.***
Artikel Terkait
Resmi Dimulai Ini Jadwal Gelaran Acara di Dieng Culture Festival
Tak Hanya Evennya, Ini Wisata Menarik yang Patut Dikunjungi Saat Dieng Culture Festival
Berkunjung ke Dieng Culture Festival, Jangan Lupakan Wisata Kulinernya