Suluhjateng – Istilah Rebo Wekasan atau Rabu Pungkasan memang sudah familiar dalam kalangan masyarakat Jawa maupun di luar jawa.
Namun, masih banyak yang tidak mengetahui pengertian dari rabu wekasan itu sendiri. Terlebih penggunaan kata ini memang tidak secara umum untuk hari rabu.
Rabu wekasan adalah dikhususkan pada hari rabu terakhir dalam bulan safar dalam penanggalan atau kalender jawa.
Dalam tradisi jawa, rabu wekasan dimanfaat untuk menolak balak atau menolak segala hal-hal yang bisa menjadi musibah.
Ketika datang rebo wekasan, masyarakat jawa sering melakukan berbagai ritual, misalnya seperti selametan, doa bersama untuk tolak balak.
Dalam tradisi islam jawa, rebo wekasan juga sering diadakan zikir bersama dengan tujuan tolak balak.
Beberapa aktivitas dilakukan selama hari ini, antara lain tahlilan (zikir bersama), berbagi makanan baik dalam bentuk gunungan maupun selamatan.
Kemudian ada juga yang melakukan salat sunah lidaf’il bala (tolak bala) Bersama di Masjid atau Musala.
Namun, di beberapa kalangan NU, salat sunah lidaf’il bala ini mulai mengalami perubahan dengan disarankan tidak lagi diniatkan untuk memperingati Rebo wekasan, tetapi sebagai salat sunah sebagaimana salat lainnya saja.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Rebo wekasan diadakan di Alun-Alun Jejeran, Wonokromo, Bantul, Indonesia.
Upacara tersebut dilakukan pada Rabu akhir dari bulan Safar karena pada tanggal tersebut, Kyai Usman Faqih (tokoh agama di Pleret) mengadakan pertemuan dengan Sri Sultan Hamengkubuwana I.
Di Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, Rebo wekasan dianggap sebagai perayaan berlimpahnya ikan. Perayaan ini juga dianggap sebagai upaya menolak bala bagi para nelayan selama melaut.***